oleh Ustadzah Sheila Ardiana, Lc. MA
Anggota Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Wilayah Aisyiyiah Jawa Tengah
Vaksinasi atau imunisasi adalah upaya meningkat sistem kekebalan tubuh dengan memasukkan vaksin. Vaksinasi bertujuan untuk melindungi diri dari berbagai penyakit yang berbahaya atau berisiko menyebabkan kematian. Imunisasi juga bisa menjadi cara untuk membentuk kekebalan kelompok (herd immunity).
Terkadang kita lupa pentingnya vaksinasi, karna penyakitnya sudah hampir musnah saat ini, atau tidak sedang dialami, atau menganggap anak sehat-sehat saja tanpa vaksin. Tapi kalau membaca dan mencari tau, pasti akan paham betul bagaimana vaksin yang semakin digalakkan di berbagai negara bisa mencegah berbagai wabah yang mematikan. Dahulu ketika campak menyerang, masyarakat sangat ketakutan karena resikonya adalah kematian. Dahulu polio yang melanda berbagai daerah sehingga menyebabkan lumpuh berbarengan, bahkan pada akhir tahun November dalam sejumlah wilayah di Indonesia terjadi KLB (Kejadian luar Biasa) polio aktif karena menurunnya kesadaran masyarakat untuk vaksinasi. Bisa juga melihat Rumah Ramah Rubella, curhatan para orang tua yang anaknya terkena virus rubella saat dalam kandungan sehingga menyebabkan syndrom rubella kongenital yg menjadikan anak tersebut gagal jantung, tuli, kerusakan otak permanen dan lain-lain. Padahal penyakit-penyakit ini bisa dicegah dengan melakukan vaksinasi.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa kebolehan melakukan imunisasi pada tahun 2016. Di antara isi fatwa tersebut adalah “Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib”.
Karenanya, perlu memahami hukum vaksinasi dalam kacamata Islam. Mengingat banyaknya masyarakat yang belum memahami tentang hal ini.
Di antara landasan Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dalil kebolehan vaksinasi adalah:
- Perintah Al-Qur’an untuk menjaga kesehatan, menjaga kesehatan bisa dilakukan dengan pencegahan dan pengobatan, dan vaksin adalah pencegahan dari kecacatan dan penyakit mematikan. Disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 195:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan”. - Perintah Al-Qur’an untuk bertanya ahlu dzikri QS. An-Nahl: 43
“Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (ahlu dzikri) jika kamu tidak mengetahui”.
Yakni orang yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang suatu ilmu, dan ahlu dzikri dalam bidang kesehatan adalah dokter dan para peneliti di bidang ini, dan mereka berkata vaksin sangat penting demi kesehatan. - Perintah Al-Qur’an untuk jangan meninggalkan generasi yang lemah QS. An-Nisa: 9,
“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya”. Vaksinasi adalah upaya untuk menjaga kesehatan dan kekuatan tubuh agar anak-anak menjadi generasi yang bertubuh sehat. - Perintah Al-Qur’an Al-Maidah 32.
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا,
“dan barang siapa yang menghidupkan, maka seakan-akan telah menghidupkan manusia semuanya”.
Dalam vaksinasi ada istilah “herd imunity”, yaitu kondisi ketika sebagian besar populasi memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit (dengan melakukan vaksinasi) sehingga penyebaran penyakit dapat ditekan. Ketika angka vaksinasi menurun, maka tentu herd immunity akan melemah, sehingga penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi, bahkan penyakit yang telah musnah, bisa kembali menyerang. - Menurut Syeikh Yusri Jabr (seorang ulama Mesir yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah) vaksinasi (dalam bahasa Arab disebut ath-tath`im) adalah satu wujud pengalaman Thibbun Nabawi, yaitu perintah Nabi untuk berobat (تداووا), dan berobat mencakup pencegahan.
Disebutkan dalam hadis Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali juga menurunkan obat untuk penyakit itu, maka berobatlah”.
Abu Dawud dan Tirmidzi dan dihukumi shahih. - Vaksinasi adalah pengamalan kaedah bahwa bahaya bisa dicegah (الضرر يزال)
- Vaksinasi selaras dengan maqashid syariah untuk:
– Menjaga jiwa (حفظ النفس): tidak divaksin mengancam nyawa
– Menjaga keturunan (حفظ النسل): tanggungjawab orang tua atas kesehatan anaknya
– Menjaga harta (حفظ المال): jika sakit karena tidak divaksin, justru menghabiskan banyak
- Melindungi anak dengan vaksin bukan berarti tidak bertawakal. Syeikh Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam Kitab Nashaih Diniyah berkata “Bukan berarti orang yang bertawakal adalah orang yang tidak berusaha, bisa jadi orang tersebut raganya berusaha keras namun hatinya penuh ketawakalan, namun hati orang yang benar-benar bertawakal penuh keyakinan kepada Allah, bukan pada usaha keras yang ia kerjakan. Sebaliknya, bisa jadi ada orang yang tidak berusaha dan merasa tidak perlu mengerjakan apa-apa, namun sebenarnya ia tidak bertawakal”. Maka, sebagai umat muslim, raga kita beribadah dengan ikhtiyar dan usaha yaitu dengan melakukan vaksin, dan jiwa kita beribadah dengan tawakal dan penuh keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang mampu memberi kesehatan, kedua hal ini sama sekali tidak bertentangan.
Dalam vaksinasi, ada jenis kandungannya yang menggunakan tripsin babi dalam pembuatan, bagaimanakah hukumnya?
Perlu diketahui bahwa sebenarnya yang dimaksud bukan bagian dari babi digunakan sebagai bahan pembuatan vaksin, sama sekali tidak ada vaksin yang seperti itu. Vaksin tidak menggunakan bahan dasar babi. Namun maksudnya adalah bahwa vaksin yg menggunakan bahan dasar bakteri, yang dikembangbiakkan melalui media enzim / tripsin babi agar bakteri bisa hidup untuk memecah asam emino. Jadi bakteri tersebut hanya bersinggungan dengan enzim babi.
Bahkan penelitian terbaru menyatakan bahwa isu penggunaan tripsin babi –> Tidak benar, vaksin campak (MR) memakai DNA rekombinan. Dulu, sebagian vaksin (tidak semua) memang memakai enzim tripsin dari babi atau sapi untuk membantu menggandakan virus di laboratorium. Tapi itu masa lalu. Enzim hewani punya resiko bawaan: bisa saja membawa virus atau patogen dari tubuh hewan. Walaupun sudah melalui uji ketat, resiko itu tidak bisa benar-benar nol. Ilmuwan kemudian bekerja keras mencari jalan keluar. Hasilnya adalah teknologi DNA rekombinan: resep genetik tripsin disalin, lalu “diberikan” kepada sistem non-hewani (misalnya sel mikroba) untuk memproduksinya.
Karenanya, vaksin MR produksi Serum Institute of India (SSI) yang dipakai Indonesia sekarang sudah memakai tripsin rekombinan ini, bukan lagi tripsin babi atau sapi. Jurnal penelitian resmi dari SSI dapat dibaca di sini: http://www.journalcra.com/sites/default/files/12692_0.pdf (penjelasan ini dikutip dari tulisan Mila Anasanti)
Artinya, vaksin MR yang dipakai saat ini bebas dari unsur hewani, bebas dari tripsin babi bahkan tripsin hewan apapun, lebih aman, dan tidak ada alasan menyebutnya haram.
Dalam Islam, pada dasarnya berobat harus menggunakan sesuatu yang halal. Boleh menggunakan benda haram missal yang najis, dalam kondisi: – darurat atau ada hajat, tdk ada benda suci lain, ada keterangan dari nakes yg dapat dipercaya. Imunisasi yg mencegak kematian, atau cacat, berdasarkan pendapat ahli yang kompeten maka menjadi wajib hukumnya.
Dalam fatwa MUI juga disebutkan bahwa Imunisasi dengan vaksin yang haram dan atau najis tidak dibolehkan kecuali:
- digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat;
- belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
- adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
Katakanlah, jikapun dalam kandungan vaksin ada bahan babi yang non halal (meskipun hal ini adalah 0 % kemungkinan) namun penggunaan obat yang mengandung bahan non halal dalam vaksinasi termasuk diperbolehkan, dengan alasan:
- Najisnya tidak kasat mata. Dianggap sebagai najis yang ditolerir karena tidak kasat mata: Bakteri yang bersinggungan tripsin babi dalam proses pembuatan vaksin, tidak kasat mata [ما لا يدرك طرفه] karena memang hanya bersinggungan. Sebagian ulama berpendapat bahwa najis yang tidak bisa dilihat kasat mata ma’fu (ditolerir) meskipun najis tsb golongan najis mughalladzah (cek kitab: Busyra Karim Syarh Muqaddimah Hadramiyyah).
- ISTIHALAH. Vaksin sudah melalui proses ISTIHALAH: yaitu berubahnya zat najis dari suatu bentuk ke bentuk lain. Contoh lain: Najis berubah menjadi abu, gelatin dari tulang babi. Seperti khamar berubah menjadi cuka melalui proses fermentasi sehingga tdk lagi memabukkan maka halal dikonsumsi, fatwa MUI 2003.
Hukum istihalah:
Jika berubah sendiri halal menurut mayoritas ulama. Jika berubah dengan disengaja melalui proses tertentu atau dengan penambahan zat tertentu: Madzab Hanafi dan Maliki menjadi halal mutlak, Madzab Syafii tetap haram. Resolusi Konferensi Fikih Kedokteran yang diadakan di Kuwait pada Mei 1995, yang menyatakan bahwa proses istihālah dapat mengubah zat najis menjadi tidak lagi najis, dan hal ini berlaku dalam vaksin.
- ISTIHLAK: vaksin telah melalui proses istihlak, yaitu bercampurnya benda najis dengan benda lainnya yang suci yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis
Contoh: khamar bercampur air yang sangat banyak, sehingga warna bau rasa khamar hilang.
Hukum istihlak suci, berlandaskan hadis: air yang mencapai 2 kullah lalu kemasukan najis, dihukumi suci jika tidak perubahan sifat air (bau rasa dan warnanya). “Jika air mencapai 2 kullah, maka tidak ada sesuatu yang membuatnya menjadi mutanajis (selama tidak berubah sifat air)”, HR. Ibn Majah - Vaksin digunakan karena darurat dan ada hajat. Ini adalah alasan terakhir yang menjadi landasan utama dibolehkannya vaksin.
Dharurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak vaksinasi dapat mengancam jiwa manusia.
Hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak vaksinasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
Darurat dan hajat ini telah dibenarkan oleh ahli di bidang ini. Vaksin tersebut digunakan karena kondisi darurat dalam kadar yang sangat sedikit dan seperlunya (sesuai dosis).
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [QS. Al-Baqarah: 173].
Vaksin, sudah memenuhi 3 unsur di atas:
- Dalam keadaan terpaksa karena darurat (mencegah penyakit mematikan) dan ada hajat (pencegahan terhadap penyakit ganas dan kecacatan). Kaedahnya “darurat itu membolehkan hal yang diharamkan (namun sebatas kondisi darurat tersebut)”: الضرورات تبيح المحظورات.
- Tidak menginginkannya. Pada dasarnya tidak ada yang mau disuntik jika tidak ada kebutuhan, namun dalam kondisi ini diharuskan demi kesehatan, yakni para ahli meyakini ada bahaya jika tidak imunisasi
- Tidak melampaui batas, dalam vaksin ada dosis tertentu sesuai aturan yang penggunaan yang telah ditetapkan (umumnya 1-3 x vaksinasi untuk satu jenis penyakit). Kaedahnya: “Apa yang diperbolehkan karena darurat, maka disesuaikan dengan kadar daruratnya” ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها
Konsep darurat dan ada hajat (kebutuhan) dalam vaksinasi inilah yang menjadi landasan utama pentingnya melakukan vaksinasi, dan memang tidak ada alternatif lain selain vaksin untuk mencegah, karena jika menunggu terkena penyakit dulu, maka hal tersebut justru berbahaya, karena bisa jadi kondisi dan imunitas tubuh tidak mampu menahan penyakit, sehingga bisa mengancam nyawa atau menyebabkan kecacatan serius. Dan ini sudah terbukti melalui banyak kasus balita yang meninggal dunia atau mengalami cacat karena tidak divaksinasi, seperti kasus terakhir di Sumenep, dimana 17 balita meninggal dunia, dan ribuan orang terinfeksi karena penyakit campak, sebab mereka tidak divaksinasi, dan masih banyak kasus lainnya.
Pada dasarnya, pemerintah dan para ahli di bidang vaksinasi ini telah berupaya keras, sehingga vaksin yang dipergunakan berbahan halal. Namun, jika membahas sertifikasi halal tentu hal tersebut berbeda. Sebagian vaksin belum memiliki sertifikat halal, bukan berarti tidak halal, jika fatwa boleh karena darurat maka status jadi wajib! Contohnya vaksin MR impor (yang tidak mengandung tripsin babi) belum selesai proses sertifikasi halal (SH) di MUI. Tapi, perlu dipahami: tidak adanya SH bukan berarti otomatis haram. Dalam kaidah fiqih, jika tidak ada dalil yang mengharamkan, maka hukum asal muamalah adalah halal.
Demikianlah ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam prakteknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi. Dan imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan dan kematian. Maka hendaknya setiap elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, ahli agama apalagi para orang tua perlu memahami pentingnya vaksinasi, dan mengambil pengetahuan tentang hal ini dari para ahli yang terpercaya, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh propoganda yang justru menodai nilai-nilai Islam itu sendiri.
Wallahu A`lam.